Arsip Blog

Minggu, 28 Februari 2016

TERPESONA AKHLAK ROSULULLAH


Rosulullah Saw adalah teladan yang baik sebagai contoh dalam segala hal. Akhlaknya adalah contoh untuk individu kelompok dan bukti yang kuat akan kenabiannya. Dengan manhaj rabbani yang diwahyukan kepadanya, beliau mampu membangun satu umat dan menegakkan satu peradapan yang mustahil bisa diserupai pada masa itu. Penopang-penopang tersebut dibangun di atas fondasi akhlak yang mulia. Oleh karena itu, beliau bersabda:
 “Aku ini diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi) 
Dan cukuplah kemuliaan Nabi Saw ini terbukti dengan kesaksian Allh Swt akan keagungan akhlak beliau. Allah berfirman: 

 وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

 “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam, 68 : 4) 

Kesaksian yang agung dari Allah tentang nabi-Nya ini adalah bukti bahwa akhlak beliau adalah akhlak yang agung sejak Allah menciptakannya. Oleh karena itu, beliau terkenal di antara kaumnya sebagai orang yang jujur dan terpercaya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berani menyebutya sebagai pendusta atau penkhianat. Banyak orang baik dari kalangan musuh maupun para sahabatnya yang terpesona dengan akhlak beliau. Dan disebabkan oleh akhlaknyalah sebagian mereka pun masuk Islam. 

Marilah kita simak kesaksian Raja Oman yang sezaman dengan Rosulullah Saw. Yaitu Al-Julandi yang terpesona dengan akhlak Rosulullah Saw. Ketika itu dalam misi dakwah Rosulullah mengutus ‘Amr bin Al-Ash untuk mengirim surat kepada Al-Julandi yang berisi ajakan untuk memeluk agama Islam. Setelah selasai membaca ia berkata, “Demi Allah, nabi yang ummi (buta huruf) ini tidaklah memerintahkan sesuatu, kecuali ia pasti yang pertama kali melakukannya. Dan tidaklah ia melarang sesuatu kecuali ia yang pertama kali meninggalkannya. Sesungguhnya jika ia menang, ia tidak merendahkan dan jika ia kalah, ia tidak gelisah. Ia penuhi semua perjanjian dan ia lakukan semua yang dijanjikan, dan aku mengakui ia adalah seorang nabi.” 

Di antara bentuk keagungan akhlak Rosulullah Saw. adalah sifat akhlaknya yang integral dan serasi. Satu sisi dari akhlaknya tidak mengalahkan sisi lainnya. Kesabarannya sama dengan keberaniannya, amanahnya sama dengan kedermawanannya, kejujurannya sama dengan kesantunannya. Keserasian akhlak seperti ini tidak ada satu pun yang memilikinya selain Muhammad Rosulullah Saw. Dan yang menjadi sumber utama akhlak Rosulullah adalah Al-Quran. Sebab, Al-Quran telah menambahkan kesempurnaan akhlak dan keindahan etika beliau. Yaitu, melalui pengarahannya kepada setiap kebaikan dan bimbingannya kepada setiap kebajikan, sehingga Rasulullah menjadi Al-Quran yang berjalan di atas muka bumi ini yang tercermin dalam perbuatan dan perkataan beliau. 
Oleh karena itu, ‘Aisyah, Ummul Mukmunin ra. ketika ia ditanya oleh Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir tentang akhlak Rasulullah, dia bali bertanya, “Tidakkah engkau membaca Al-Quran?” Sa’ad menjawab, “Tentu.” “Aisyah berkata, “Sesungguhnya Akhlak Nabi Saw adalah Al-Quran,” (HR. Muslim, Abu Daud, An-Nasa’I, dan Ahmad). 

 Keagungan Akhlak beliau tidak hanya tampak di rumahnya, tetapi juga di dalam pergaulan keseharian, beliau tidak pernah mengucilkan orang fakir, mengasihi orang miskin, dan juga berbaur dengan para budak. Beliau selalu menebar senyum kepada siapa saja yang dijumpai termasuk kaum non muslim. Bahkan, beliau memperlakukan musuh-musuhnya dan orang-orang yang membencinya dengan perlakuan yang penuh kasih. 

Abu Sofyan sebagai pemimpin kaum musyrikin sebelum masuk Islam, telah menjadi saksi akan keindahan akhlak beliau. Setelah memeluk Islam, Abu Sofyan berkata, “Demi Allah, sesungguhnya engkau orang yang sangat mulia. Aku telah memerangimu, maka sebaik-baik orang berperang adalah engkau. Kemudian, aku telah berdamai denganmu, maka sebaik-baiknya orang berdamai adalah engkau. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
(Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Ma’rifatush Shahabah: 3/1509).

Jumat, 26 Februari 2016

Tanda-tanda Hidup Bahagia


Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : 

 مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ 

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl : 97).

  Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah swt menjanjikan kepada orang yang beramal shalih baik itu perempuan atau laki-laki dan ia beriman, untuk memberikan kehidupan yang baik serta pahala yang lebih baik dari apa yang ia amalkan sebagai balasan. Ada beberapa pendapat dari ulama mengenai makna amal shalih, diantaranya sebagai berikut: 
Ibnu Katsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan amal shalih di sini adalah amal yang bermanfaat dan sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis Nabi saw. Muhammad. 
Abduh berpendapat bahwa amal shalih adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan. 
 Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa amal shalih adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan sunah Nabi 
Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa makna pokok dari amal shalih adalah amal yang bermanfaat baik bagi diri sendiri dan orang lain. 

Adapun kehidupan yang baik dalam ayat tersebut menurut Ibnu Katsir adalah kehidupan yang bahagia, tenang, dan mendapatkan kecukupan rezeki yang halal. Yang perlu digaris bawahi di sini adalah kehidupan yang baik itu bukan berarti kehidupan yang mewah yang luput dari ujian, tetapi ia adalah kehidupan yang diliputi rasa legawa, kerelaan, serta kesabaran dalam menerima cobaan dan rasa syukur atas nikmat Allah swt. Dengan demikian, yang bersangkutan tidak merasa takut yang mencekam, atau kesedihan yang melampaui batas, karena dia selalu menyadari bahwa pilihan Allah swt adalah yang terbaik, dan di balik segala sesuatu ada ganjaran yang menanti. 

Masih ada pendapat lain tentang makna kehidupan yang baik yang dimaksud. Misalnya, kehidupan di surga kelak, atau di alam Barzah, atau kehidupan yang diwarnai oleh qana’ah, atau rezeki yang halal. Kesemuanya itu jika disatukan maka berkumpul pada satu titik kesimpulan bahwa yang dimaksud kehidupan yang baik adalah kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. 

Selain itu, dapat kita cermati bahwa dalam ayat ini juga berbicara tentang pentingnya iman dalam menyertai amal. Setiap amal yang tidak dibarengi dengan keimanan, maka dampaknya hanya sementara. Dalam kehidupan dunia ini terdapat hal-hal yang kelihatan sangat kecil bahkan tidak terlihat oleh pandangan, tetapi justru merupakan unsur asasi bagi sesuatu. Ibaratnya seperti setetes racun yang diletakan di gelas yang penuh air, tidaklah mengubah kadar dan warna cairan di gelas itu, tetapi pengaruhnya sangat fatal. Begitu pula, kekufuran/ketiadaan iman yang bersemai di hati orang-orang kafir bahkan yang mengaku muslim sekalipun, merupakan nilai yang merusak. Karena itulah sehingga berkali-kali al-Qur’an memperingatkan pentingnya iman menyertai amal, karena tanpa iman kepada Allah swt amal ini akan menjadi sia-sia belaka. Allah berfirman: 

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا 

 Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS. Al-Furqan (25): 23) 

 Maka beruntunglah orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dengan hadiah yang telah dijanjikan oleh Allah swt, karena hal tersebut tidak akan diperoleh oleh orang-orang yang berpaling dari mengingat Allah swt, tidak beriman dan tidak mengerjakan amal shalih. Rasulullah saw bersabda: قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ

 أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَّافًا وَقَنَعَهُ اللهُ بِمَا آتاهُ 

Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, ia mendapat rezeki yang cukup dan merasa puas dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. (HR. Muslim) 

Sebaliknya, orang yang tidak beriman serta tidak mengerjakan amal shalih, maka ia akan senantiasa berada dalam kesusahan. Apabila ditimpa suatu bencana atau cobaan, maka ia akan merasa sangat bersedih hati, gundah dan gelisah. Kemudian apabila ia tidak memperoleh apa yang ia kehendaki berupa kesenagan dunia, maka ia akan bersedih hati karena ia mengira bahwa puncak kebahagiaan adalah tercapainya kesenangan hidup dan menikmati kelezatannya 

Hal lain yang dapat kita maknai adalah bahwa ayat ini menekankan persamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal beramal shalih. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan dituntut agar melakukan amalan-amalan yang bermanfaat baik untuk dirinya dan orang lain. 

7 Tanda Kebahagiaan Dunia 
Ibnu Abbas r.a. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang terkenal dengan julukan Turjumaanul Qur’an (orang yang paling ahli dalam menerjemahkan Alquran). suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi sesudah para Sahabat) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Ibnu Abbas menjawab bahwa ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu : 
Pertama, Hati yang selalu bersyukur. Artinya selalu menerima apa yang telah Allah SWT berikan dengan ikhlas apapun bentuknya. Agar dapat selalu bersyukur, maka mestilah kita memahami ayat. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” (QS. Al Mu’minun, 23 : 1) Mengapa beruntung?. Karena setiap peristiwa apapun itu yang ditimpakan oleh Allah terhadap hambaNya yang beriman adalah sebuah keberuntungan bagi dirinya, apapun bentuknya. Tetapi kuncinya jika hambanya ikhlas. Ikhlas dalam arti memurnikan Dzat Allah Swt. 
Ilustrasinya jika dia diberikan kesenangan, orang yang beriman akan ikhlas dan bersyukur dengan memuji Allah, berdoa serta membagikan rizki, kesenangan atau nikmatnya kepada hamba-hamba lainnya. Dalam hadits yg diriwayatkan Imam Muslim (shahih muslim no. 4673) dinyatakan bahwa : 
Rasulullah bersabda "janganlah kamu sekalian terlalu bersedih & tetaplah berbuat kebaikan karena dalam setiap musibah yang menimpa seorang muslim terdapat penghapusan dosa bahkan bencana kecil yg menimpanya atau karena sebuah duri yg menusuknya." 
 Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Berbahagialah orang yang pandai bersyukur! 

Kedua, pasangan hidup yang sholeh. Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Sebaliknya pula, seorang istri yang sholehah akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suami dan anak-anaknya. Pasangan hidup yang saleh, ia menciptakan suasana rumah teduh dan menurunkan keluarga yang saleh pula, indah dan menentramkan. 
Para peneliti membuktikan, kesalehan (inner beauty) adalah 2/3 faktor penentu kebahagiaan hidup, sedangkan kecantikan atau ketampanan dan kekayaan hanyalah 1/3 darinya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami/istri yang memiliki seorang suami/istri yang sholehah. 

Ketiga, anak yang sholeh. Rasulullah saw bersabda: 
"Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang selalu mendoakannya." (HR. Muslim) 
Saat Rasulullah SAW thawaf, beliau bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasul bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?” Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. 
Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijaminkan dan dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh. 

Keempat, lingkungan yang kondusif untuk iman kita. 
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur)." (QS. At Taubah, 9 : 119) 
Nabi SAW juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita. 
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat harumnya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari) 

 Kelima, harta yang halal. 
Harta, yang terpenting dalam Islam adalah kualitas harta itu sendiri, bukan kuantitasnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalmu engkau dapat secara haram, bagaimana doamu dikabulkan”! 
Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. 
 Keenam, semangat untuk memahami agama. 
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam. 

Ketujuh, umur yang barokah. 
Umur yang barokah itu artinya umur yang semakin tua semakin meningkat kualitas ibadahnya. Umur yang dapat menjadikan aktivias kesehariannya selama 24 jam bernilai ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Allah SWT. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang barokah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya barokah. والله أعلم بالصواب 

Oleh. KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, M.A. (Mudir Shuffah Al-Quran Abdullah Bin Masud Online) 

Sumber: http://www.mediaislamia.com

Kamis, 25 Februari 2016

Meniti Jalan Hidup Bahagia


Prinsip Hidup Bahagia Menurut Islam. Setiap manusia menghendaki kehidupan yang bahagia. Tidak ada satupun manusia yang ingin hidup susah, gelisah, dan tidak merasakan ketentraman. Akan tetapi, setiap manusia memiliki prinsip dan cara pandang yang berbeda dalam mengukur kebahagiaan. Sesuatu yang dapat membuat seseorang bahagia belum tentu bagi orang lain. Pepatah orang Jawa mengatakan,"Wong urip iku sawang sinawang". Karena yang paling mempengaruhi seseorang dalam mengukur kebahagiaan adalah prinsip dan pandangan hiudp yang dipijakinya. Bagi seorang Muslim, kebahagiaan tidak selalu berupa kemewahan dan keberlimpahan materi duniawi.

Berikut ini beberapa pinsip kebahagiaan dalam konsep hidup Islam. Tulisan ini akan menguraikan beberpa prinsip hidup bahagia menurut Islam.
1. Bahagia di Jalan Allah (Sabilu[i]llah, shiratullah
 Allah Ta’ala berfirman:

 وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [٦:١٥٣] “

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (Qs. Al-An’am: 153)

Kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan meniti jalan yang digariskan oleh Allah. Yang dimaksud dengan meniti jalan Allah adalah mentaati perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya dengan ikhlas dan benar. Ayat 153 surah al-An’am di atas sebelumnya didahului dengan penjelasan tentang beberapa perintah dan larangan Allah kepada orang beriman. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa orang yang meninggalkan jalan yang digariskan oleh Allah tidak akan tenang dan tidak bahagia. Karena ia akan mencari jalan dan sumber kebahagiaan pada jalan yang dibuat dan digariskan oleh selain Allah dan Rasul-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:

 وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ [٢٠:١٢٤]

 Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (surat Thaha [20]: 123.

2. Menggabungkan antara kebahagiaan ruh dan jasad.
 Manusia terbentuk dari ruh dan jasad. Masing-masing dari keduanya membutuhkan gizi dan nutrisi yang berbeda yang harus dipenuhi secara adil. Sebagian kalangan hanya menekankan aspek ruh dan mengabaikan kebutuhan jasad. Sebaliknya, sebagian yang lain hanya menekankan pemenuhan kebutuhan jasad dan mengabaikan kebutuhan ruh. Adapun petunjuk Islam haruslah memenuhi kebutuhan keduanya (ruh dan jasad) secara adil. Ruh dipenuhi kebutuhannya dengan cahaya wahyu dari langit dan menjaga kesehatan jasad dengan pememenuhan hajat syahwat  melalui cara yang halal dan thayyib.
Allah Ta’ala berfirman:

 وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ

 Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi. (Surah al-Qashash [28]:77).

 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kepada ummatnya untuk menunaikan hak kepada
pemiliknya masing-masing. “Sesungguhnya Rabbmu punya haq darimu, dirimu punya haq darimu, keluargamu juga punya hak, maka berilah setiap hak kepada pemiliknya” (Terj. HR. Bukhari).

 3. Kebahagiaan dan Keberanian (Menghadapi Resiko hidup)
Barangsiapa yang telah menikmati manisnya Iman, maka ia takkan pernah mau meninggalkannya, kendati pedang diletakkan di lehernya. Sebagaimana tukang sihir Fir’aun yang tegar menghadapi ancaman potong tangan-kaki dan salib; 

 قَالَ آمَنتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آذَنَ لَكُمْ ۖ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ ۖ فَلَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُم مِّنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ وَلَتَعْلَمُنَّ أَيُّنَا أَشَدُّ عَذَابًا وَأَبْقَىٰ [٢٠:٧١] 

Berkata Fir’aun: “Apakah kamu telah beriman kepadanya (Musa) sebelum aku memberi izin kepadamu sekalian. Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu sekalian. Maka sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik, dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya”. (Qs Thaha [20]:71). 

Mereka tetap teguh dan tegar sebagaimana diabadikan oleh Allah;

 قَالُوا لَن نُّؤْثِرَكَ عَلَىٰ مَا جَاءَنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالَّذِي فَطَرَنَا ۖ فَاقْضِ مَا أَنتَ قَاضٍ ۖ إِنَّمَا تَقْضِي هَٰذِهِ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا [٢٠:٧٢] 

 Mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja. (Qs Thaha [20]:72). 

 Tidak ada sesuatupun yang meneguhkan dan menegarkan mereka, kecuali karena mereka telah merasakan lezat dan manisnya keimanan. Sehingga mereka merasakan ketenangan batin dan ketegaran saat menghadapi ancaman, termasuk ancaman pembunuhan sekalipun. 

 4. Kebahagiaan adalah ketenangan dalam hati. 
Tiada kebahagiaan tanpa sakinah (ketenangan) dan thuma’ninah (ketentraman), dan tiada ketenangan dan ketentraman tanpa iman. Allah Ta’la berfirman tentang orang-oranf beriman:

 هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ ۗ

 Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). (Qs Al-Fath: 4). 

 Keimanan melahirkan kebahagiaan dari dua sisi:
 (1) Iman dapat menghindarkan dan memalingkan seseorang dari ketergelinciran ke dalam dosa yang merupakan sebab ketidak tenangan dan kegersangan jiwa. 
(2) Keimanan dapat menjadi sumber utama kebahagiaan, yakni sakinah dan thuma’ninah. Sehingga di tengah lautan masyakil (probematika) dan krisis hidup tidak ada jalan keluar dan keselamatan selain Iman. Oleh karena itu orang yang tanpa iman di hatinya dipastikan akan selalu dirundung rasa takut, was-was, kahwatir, gelisah, galau. Adapun bagi orang beriman. Adapun bagi orang beriman tidak ada rasa takut sama sekali, selain takut kepada Allah Ta’ala. Hati yang dipenuhi iman memandang remeh setiap kesuliatn yang menghimpit, kerana orang beriman selalu menyikapi segala persoalan dengan tawakkal kepada Allah. sedangkan hati yang kosong, tanpa iman tak ubahnya selembar daun rontok dari dahannya yang diombang-ambingkan oleh angin. 

 5. Berpindah dari kebahagiaan dunia pada kebahagiaan akhirat 

Pasca kehidupan dunia, akan memasuki kehidupan di alam kubur bakda kematian dan selanjutnya kehidupan di negeri akhirat setelah hari kiamat. Dan jalan-jalan kebahagiaan akan menyertai manusia dalam tiga fase kehidupan tersebut (dunia, alam kubur,& hari akhir) Dalam kehidupan dunia Allah Ta’ala telah menjanjikan kebahagiaan bagi orang-orang beriman dan beramal shaleh:

 مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ [١٦:٩٧] 

 Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(Qs An-Nahl [16]:97). 

 Ayat tersebut menegaskan bahwa orang yang beriman dan beramal shaleh akan dihidupkan di dunia dengan kehidupan yang baik, bahagia, tenang, tentram, meski hartanya sedikit. Adapun kebahagiaan di alam kubur, seorang Mu’min akan dilapangkan kuburannya, sebagaimana diterangkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Sungguh, seorang Mu’min dalam kuburannnya benar-benar berada di taman yang hijau, dilapangkan kuburannya sejauh tujuh puluh hasta, dan disinari kuburannya seperti –terangnya- bulan di malam purnama” (dihasankan oleh al-Albaniy). 

Sedangkan kebahagiaan di akahirat Allah berjanji akan tempatkan dalam surga dan kekal di dalam selama-lamanya jelaskan dalam Hud ayat 108,

 وَأَمَّا الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ ۖ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ 

 “Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya” (Terj. Qs Hud [11]:108) 

Singkatnya, dengan iman seorang hamba dapat meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhirat. Jadi, Islam telah datang dengan konsep dan jalan kebahagiaan yang abadi, yang mencakup kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Meskipun demikian Allah telah menjadikan kebahagiaan dunia dan akhirat sebagai dua sisi yang saling terkait dan terpisah. Sehingga keduanya tidak perlu dipertentangkan. Sebab keduanya adalah satu. Keduanya adalah jalan yang satu. Allah mengingatkan bahwa siapa yang menghendaki balasan dunia, maka Allah memeiliki balasan di dunia dan akhirat; 

 مَّن كَانَ يُرِيدُ ثَوَابَ الدُّنْيَا فَعِندَ اللَّهِ ثَوَابُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ

 Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat.(Qs An-Nisa [4]: 134). 

Namun bagi seorang Muslim yang beriman bahwa kebahagiaan yang ada di sisi Allah jauh lebih baik dan kekal abadi. (sym) 
Sumber: wahdah.or.id ›

Membangun Keluarga Sakinah


Sebagai umat muslim yang baik sudahkan Anda menikah ? Kalau sudah menikah pasti semua suami isteri menginginkan pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun dibalik kata-kata itu apakah Anda sudah mengetahui apa makna dari istilah-istilah tersebut ?

 Memang, kata-kata tersebut tidaklah asing bagi seseorang yang belum menikah atau sudah menikah. Nah, Anda agar lebih paham dan tidak salah dalam mengambil maknadari istilah-istilah tersebut mari kita simak penjelasan dibawah ini dengan cermat. 

 Makna atau Arti Kata Sakinah 

Kata Sakinah dalam bahasa Arab memiliki arti kedamaian, tenang, tentram, dan aman. Asal mula kata ini berasal dari Al-Qur’an Surah  Ar-Rum (30) : 21, sebagai berikut:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya : “Dan di antara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum 21].

 Makna kata sakinah dalam pernikahan tersebut dapat diartikan seorang laki-laki dan isteri harus bisa membuat pasangannya merasa tentram, tenang, nyaman dan damai dalam menjalani kehidupan bersama supaya sebuah rumah tangga bisa langgeng. Dalam membuat rumah tangga yang langgeng dibutuhkan sebuah iman dan ikatan hati yang kuat yakni berupa kesetiaan. Yang dimaksud setia tersebut adalah selalu menerima setiap saat dan apa adanya, baik saat memiliki wajah jelek, cantik, pangkat yang tinggi, banyak uang atau tidak memiliki uang sama sekali. Jika beberapa tahun hubungan sudah bisa berjalan dengan baik dan dalam pernikahan tersebut terasa nyaman dan tentram maka insyaallah hubungan itu terlaksana dengan sakinah, tapi jika sebaliknya maka hubungan itu bisa dikatakan belum sakinah. 

 Makna atau Arti Kata Mawaddah

Mawadah adalah perasaan ingin bersatu atau bersama.
Imam As-Sayuthi رحمه الله (w. 911 H) dalam Tafsir Dur Mantsur (11/595) dari riwayat Ibn Al-Mundzir dan Ibn Abi Hatim, dari Al-Hasan rahimahullahu tentang firman Allah : “.. dan dijadikan-Nya di antaramu mawadah”, beliau berkata, “al-jima”. Demikian pula menurut Mujahid dan Ikrimah, sebagaimana dituliskan Imam Ibn Hayan Al-Andalusi رحمه الله (w. 745 H) dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhyith (9/77) dan lainnya.

Mawaddah dalam bahasa Indonesia bisa diartikan cinta atau sebuah harapan. Kata ini juga ada pada Al-Qur’an surah 30:21 (Ar-Rum) sebagaimana tersebut di atas. 

 Ketika menjalin sebuah pernikahan, cinta adalah hal utama yang harus ada padanya. Saat hubungan telah mencapai titik sakinah (nyaman, tentram) maka mulai dari saat itu akan muncul mawaddah (rasa cinta). Rasa cinta tersebut sangatlah indah, kebanyakan seorang yang sedang merasakan cinta mereka lupa akan segalanya, mereka akan berbunga-bunga. Seperti yang sering dikatakan oleh banyak orang bahwa cinta itu  buta,  artinya bahwa segala sesuatu bisa terlupakan karena indahnya cinta. 

 Makna atau Arti Kata Rahmah 

Kata warahmah sebenarnya berasal dari kata wa rahmah, sehingga jika ke tiga  kata tersebut dirangkai berbunyi "sakinah, mawaddah wa rahmah". Jadi  kata 'wa' yang artinya 'dan' di sini berfungsi kata sambung bukan bagian dari kata rahmah.

Ketiga kata ini memiliki sebuah hubungan yang saling berkaitan. Kata rahmah dalam bahasa Indonesia dapat diartikan kasih sayang, sebagaimana dapat dipahami dari Al-Qur'an surah 30:21 (Ar-Rum) di atas.  
Rahmah adalah kasih sayang dan kelembutan, timbul terutama karena ada ikatan. Seperti cinta antar orang yang bertalian darah, cinta orang tua terhadap anaknya, atau sebaliknya. Sebagaimana tafsir yang disebutkan Imam As-Sayuthiرحمه الله (w. 911 H) dalam Tafsir Dur Mantsur (11/595), riwayat Ibn Al-Mundzir dan Ibn Abi Hatim, dari Al-Hasan rahimahullau tentang firman Allah : “… dan rahmah”, Al-Hasan berkata, “al-walad (anak)”. Demikian pula menurut Mujahid dan Ikrimah, sebagaimana dituliskan Imam Ibn Hayan Al-Andalusi رحمه الله (w. 745 H) dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhyith (9/77) dan lainnya.

 Dalam menjalin hubungan keluarga, rasa kasih sayang sangatlah dibutuhkan karena dengan adanya rasa kasih sayang, keluarga tersebut bisa menjadi lebih harmonis dan akan memperoleh sebuah kebahagiaan yang mana kebahagiaan itu akan menjadi benteng yang dapat memperkuat hubungan antara suami dengan istri. Ketika benteng keluarga sudah kokoh, maka setiap kali ada rintangan atau hambatan menerjang, rintangan atau hambatan itu dapat dengan mudah terselesaikan dengan baik tanpa menimbulkan sebuah perselisihan yang dapat berakibat fatal. 

Kesimpulan, sakinah, mawaddah  wa rahmah merupakan unsur utama yang harus ada dalam menjalin kehidupan berkeluarga. Agar kehidupan suami isteri menjadi aman, tentram, dan damai, kedua belah pihak (suami-isteri) haruslah selalu saling pengertian, saling mencintai, saling menjaga, saling memberi kepercayaan dan kasih sayang sepenuhnya. Aspek-aspek itu merupakan hal-hal yang harus digaris bawahi dan dijadikan sebagai pedoman agar hubungan bisa menjadi bahagia, langgeng, dan nyaman, Semoga kita menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dan termasuk orang-orang yang memperoleh isteri dan suami yang sholeh dan sholehah sehingga kehidupan di dunia dan akhirat menjadi nyaman, aman dan tentram. Amin. Semoga artikel ini membawa manfaat dan guna bagi semua. 

Sumber referensi :1. ahm sid mas. 
                           2. www.mishba7.com › Islami ›